Senin, 06 Desember 2010
Suku-Suku Di Sulteng (Suku Kaili)
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun mendiami daerah Lembah Palu, Parigi, Teluk Tomini, dan pesisir Tojo, Ampana, dan Poso. Suku Kaili tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,Lasoani,Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
[sunting] Kehidupan
Mata pencaharian utama masyarakat Kili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling).
Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi, pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.
Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya didalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.
Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), suli (suling).
Salahsatu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabetetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerinta Daerah.
Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).
Pemerintahan
Pemerintahan pada masa dahulu, sudah dikenal adanya struktur organisasi pemerintahan didalam suatu Kerajaan (KAGAUA) dikenal adanya MAGAU (Raja), MADIKA MALOLO (Raja Muda). Didalam penyelenggaraan pemerintahan Magau dibantu oleh LIBU NU MARADIKA (Dewan Pemerintahan Kerajaan) yang terdiri dari: MADIKA MATUA (Ketua Dewan Kerajaan/Perdana Menteri) bersama PUNGGAWA (Pengawas Pelaksana Adat/ Urusan Dalam Negeri), GALARA (Hakim Adat), PABICARA (Juru Bicara), TADULAKO (Urusan Keamanan/ Panglima Perang) dan SABANDARA (Bendahara dan Urusan Pelabuhan).
Disamping dewan Libu nu Maradika, juga ada LIBU NTO DEYA (Dewan Permusyawaratan Rakyat) yang merupakan perwakilan Rakyat berbentuk KOTA PITUNGGOTA (Dewan yg Mewakili Tujuh Penjuru Wilayah) atau KOTA PATANGGOTA (Dewan yg Mewakili Empat Penjuru Wilayah). Bentuk Kota Pitunggota atau Kota Patanggota berdasarkan luasnya wilayah kerajaan yang memiliki banyaknya perwakilan Soki (kampung)dari beberapa penjuru. Ketua Kota Pitunggota atau Kota Patanggota disebut BALIGAU.
Strata sosial masyarakat Kaili dahulu mengenal adanya beberapa tingkatan yaitu MADIKA/MARADIKA, (golongan keturunan raja atau bangsawan),TOTUA NUNGATA (golongan keturunan tokoh-tokoh masyarakat), TO DEA (golongan masyarakat biasa), dan BATUA (golongan hamba/budak).
Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Tanah Kaili mempunyai beberapa raja-raja yang masing2 menguasai daerah kekuasaanya, seperti Banawa, Palu, Tavaili, Parigi, Sigi dan Kulavi. Raja-raja tersebut mempunyai pertalian kekeluargaan serta tali perkawinan antara satu dengan lainnya, dengan maksud untuk mencegah pertempuran antara satu dengan lainnya serta mempererat kekerabatan.
Pada saat Belanda masuk kedaerah Tanah Kaili, Belanda mencoba mengadu domba antara raja yang satu dengan raja lainnya agar mempermudah Belanda menguasai seluruh daerah kerajaan di Tanah kaili. Tetapi sebagian besar daripada raja-raja tersebut melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, mereka bertempur dan tidak bersedia dijajah Belanda. Tetapi dengan kelicikan Belanda setelah mendapat bala bantuan dari Jawa akhirnya beberapa raja berhasil ditaklukan, bahkan ada diantaranya yang ditangkap dan ditawan oleh Belanda kemudian dibuang ke Pulau Jawa.
Beberapa alat senjata perang yang digunakan oleh suku Kaili diantaranya : Guma (sejenis parang), Pasatimpo (sejenis keris), Toko (tombak), Kanjai (tombak trisula), Kaliavo (perisai).
Taman Nasional Lore Lindu
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan taman nasional di Indonesia yang terletak di provinsi Sulawesi Tengah dan salah satu lokasi perlindungan hayati Sulawesi. Taman Nasional Lore Lindu terletak sekitar 60 kilometer selatan kota Palu dan terletak antara 119°90’ - 120°16’ di sebelah timur dan 1°8’ - 1°3’ di sebelah selatan.
Kalau dibandingkan dengan taman nasional lain di Indonesia, ukurannya sedang saja, Taman Nasional ini secara resmi meliputi kawasan 217.991.18 ha (sekitar 1.2% wilayah Sulawesi yang luasnya 189.000 km² atau 2.4% dari sisa hutan Sulawesi yakni 90.000 km²)dengan ketinggian bervariasi antara 200 sampai dengan 2.610 meter diatas permukaan laut. Taman Nasional ini sebagian besar terdiri atas hutan pegunungan dan sub-pegunungan (±90%) dan sebagian kecil hutan dataran rendah (±10%).
Taman Nasional Lore Lindu memiliki fauna dan flora endemik Sulawesi serta panorama alam yang menarik karena terletak di garis Wallace yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia.
Taman Nasional Lore Lindu yang terletak di selatan kabupaten Donggala dan bagian barat kabupaten Poso menjadi daerah tangkapan air bagi 3 sungai besar di Sulawesi Tengah, yakni sungai Lariang, sungai Gumbasa dan sungai Palu.
Kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat mamalia asli terbesar di Sulawesi. Anoa, babirusa, rusa, kera hantu (Tangkasi), kera kakaktonkea, kuskus marsupial dan binatang pemakan daging terbesar di Sulawesi, musang Sulawesi hidup di taman ini. Taman Nasional Lore Lindu juga memiliki paling sedikit 5 jenis bajing dan 31 dari 38 jenis tikusnya, termasuk jenis endemik.
Sedikitnya ada 55 jenis kelelawar dan lebih dari 230 jenis burung, termasuk maleo, 2 jenis enggang Sulawesi yaitu julang Sulawesi dan kengkareng Sulawesi. Burung enggang benbuncak juga disebut rangkong atau burung allo menjadi penghuni Taman Nasional Lore Lindu.
Ribuan serangga aneh dan cantik dapat dilihat di sekitar taman ini. Layak diamati adalah kupu-kupu berwarna mencolok yang terbang di sekitar taman maupun sepanjang jalan setapak dan aliran sungai.
Patung-patung megalit yang usianya mencapai ratusan bahkan ribuan tahun tersebar di kawasan Taman Nasional Lore Lindu seperti Lembah Napu, Besoa dan Bada. Patung-patung ini sebagai monumen batu terbaik diantara patung-patung sejenis di Indonesia. Ada 5 klasifikasi patung berdasarkan bentuknya:
1. Patung-patung batu: patung-patung ini biasanya memiliki ciri manusia, tetapi hanya kepala, bahu dan kelamin.
2. Kalamba: ini adalah bentuk megalit yang banyak ditemukan dan menyerupai jambangan besar. Mungkin ini adalah tempat persediaan air, atau juga tempat menaruh mayat pada upacara penguburan.
3. Tutu'na: ini adalah piringan-piringan dari batu, kemungkinan besar penutup kalamba.
4. Batu Dakon: batu-batu berbentuk rata sampai cembung yang menggambarkan saluran-saluran, lubang-lubang tidak teratur dan lekukan-lekukan lain.
5. Lain-lain: mortar batu, tiang penyangga rumah dan beberapa bentuk lain juga ditemukan.
Sejarah dan Status
* Suaka Margasatwa Lore Kalamanta. 1973
* Status Biosfer. 1977
* Hutan Wisata/Hutan Lindung Danau Lindu . 1978.
* Suaka Margasatwa Lore Lindu (Perluasan Lore Kalamanta). 1981
* Pemerintah Indonesia menyatakan Lore Lindu sebagai Taman Nasional dalam Konggres Dunia mengenai Taman Nasional. 1982
* Dinyatakan sebagai Pusat Keanekaragaman Tanaman. 1994
* Status Taman Nasional akhirnya diresmikan pada tahun 1993.
* Dinyatakan sebagai bagian dari Kawasan Burung Endemik. 1998
* Dinyatakan sebagai Kawasan Ekologi Global 200. 1998
* Perluasan Barat Laut.
Hutan Wisata Danau Lindu
Hutan Wisata Danau Lindu termasuk dalam kategori wilayah Enclave Lindu dan termasuk bagian dari wilayah kecamatan Kulawi yang secara Geografis terletak di dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, oleh karena itu semua desa di wilayah ini berbatasan langsung dengan TNLL.
Sejarah Danau Lindu versi 1
Dikisahkan bahwa suatu hari kapal yang membawa Sawerigading sepulang dari perjalanan ke tanah China untuk mengawini tunangannya We Cudai berkunjung ke laut kaili. Saat itu di tanah kaili terdapat beberapa kerajaan lokal yang berdaulat mulai dari Banawa, Bangga hingga Sigi. Setelah berkunjung ke Ganti, ibu kota kerajaan Banawa, Sawerigading berlayar ke arah selatan menuju pantai negeri sigi-pulu, dalam wilayah kerajaan sigi. Perahu Sawerigading berlabuh dipantai Uwe mebere, yang sekarang ini bernama Ranaromba. Kerajaan sigi dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ngginayo atau Ngilinayo yang berparas cantik dan namun belum menikah. Sawerigading terpikat oleh kecantikannya dan langsung mengajukan pinangannya untuk menjadikannya permaisuri, untuk memenuhi permintaanya Ngginayo mensyaratkan agar ayam aduan sawerigading yang bernama Baka Cimpolong terlebih dahulu mengalahkan ayam aduan raja sigi yang bernama Calabai, syarat itu disetujui Sawerigading , sehingga disepakatilah suatu waktu untuk menggelar upacara adu ayam sekembali dari kunjungan sawerigading kepantai barat, sambil di persiapkan arena (wala-wala) adu ayam.
Dipantai barat perahu Sawerigading berlabuh dipantai kerajaan Bangga, yang dipimpin oleh raja Wambulangi seorang perempuan yang bergelar Magau Bangga.dengan magau Bangga Sawerigading mengikat perjanjian persahabatan.
Setelah kunjungan ke bangga Saweri Gading kembali ke Sigi. Dalam perjalanan itu Sawerigading singgah di sebuah pulau kecil Bugintanga (pulau tengah), untuk menambatkan perahunya ia menancapkan sebatang tonggak panjang (Tokong bgs-) ketika meninggalkan pulau itu Sawerigading tidak mencabut Tonggak itu, sehingga bertumbuhlah dan sampai kini dipercaya oleh penduduk sebagai kebangga atau bululanga yang terletak di kampung kaleke.
Di Sigi persiapan pertarungan sudah diselesaikan, sebuah gelanggang (wala-wala) sudah di sediakan bagi baka cipolong dan calabai, para penduduk juga sudah mendengarkan dan bersiap untuk menyaksikan pertarungan yang akan digelar kesekan paginya, namun diluardugaan, satu malam sebelum upacara dimulai, tersiar kabar, yang mengharuskan pertarungan itu dibatalkan.
Anjing Sawerigading yang digelar La Bolong (si Hitam -bgs-) diam-diam turun dari perahu, untuk berjalan-jalan di dataran Sigi. Tanpa di sadarinya ia berjalan terlalu jauh ke selatan hingga kemudian terperangkap kedalam sebuah lubang yang besar tempat kediaman se ekor Lindu (belut) yang sangat besar. Karena merasa terganggu dengan kedatangan anjing La Bolong yang tiba-tiba itu maka si Lindu menjadi marah dan menyerang La Bolong sehingga terjadilah pertarungan yang amat sengit antara keduanya. Sedemikian dahsyatnya pertarungan itu sehingga seolah-olah menimbulkan gempa yang menggetarkan bumi, penduduk pun menjadi panik dan ketakutan dibuatnya. Pada satu kesempatan La Bolong berhasil menyergap Lindu itu dengan taring-taringnya, kemudian dengan cengkeraman mulutnya ia menyentakan dan menarik sang Lindu hingga tercabut dari lubangnya. Sejenak kemudian La Bolong menyeret dan melarikan belut yang meronta-ronta itu ke arah utara.
Sementara itu, lubang tempat tinggal Lindu yang telah menjadi kosong dengan cepat terisi air, Sehingga lama kelamaan menjadi penuh dan meluap-luap, menggenangi daerah sekitarnya sampai akhirnya membentuk sebuah danau yang saat ini dikenal sebagai danau Lindu.
Demikian riwayat danau Lindu yang dikutip dari legenda Sawerigading, sebagaimana penuturan Matulada dalam bukunya sejarah dan kebudayaan To Kaili. Dibandingkan dengan penuturan Paulus Tampilangi, salah seorang tokoh Lindu pada tahun 2001, mitos pembentukan danau Lindu sedikit berbeda, meskipun alur ceritanya memiliki beberapa kemiripan sbb,
Di kisahkan, pada jaman dahulu kala dataran disekitar Lindu belum menjadi tempat tinggal manusia karena pada umumnya masyarakat pada saat itu memilih untuk tinggal di lereng-lereng gunung, maupun punggung-punggung bukit dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar-pencar, di Lantawongu, Katapia, Watureo, Sindimalei Lindu Tongoa dan Sandipo.
Beberapa jarak dibawah kaki gunung mapun bukit-bukit itu terdapat dataran, yang digenangi air sehingga membentuklah suatu rawa yang sangat luas. Di rawa itu hidup seekor Lindu atau belut yang sangat besar ukurannya. Selain besar Lindu, dikisahkan bahwa Lindu itu sangat buas. Ia menyerang dan memangsa hewan apa saja bahkan manusia yang dijumpainya disekitar rawa. Itulah sebab tidak seorangpun yang masyarakat pada saat itu yang berani datang apalagi bermukim tepian rawa.
Lindu itu hidup bak raja di daerah rawa yang maha luas itu, tidak henti-hentinya ia memangsai hewan-hewan hutan yang datang untuk minum dipinggiran rawa, tidak jarang manusia yang tersesat kedaerah rawapun dijadikannya santapannya, sehingga lama kelamaan jumlah anggota masyarakat yang menjadi mangsa Lindu menjadi banyak dan terus menerus bertambah banyak, sehingga mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat Lindu.
Keresahan yang menumpuk mulai menimbulkan ketakutan yang menghantui seluruh masyarakat pada saat itu. Keadaan ini mendorong totua maradika, ngata dan todea berkumpulah di suatu tempat untuk menyelenggarakan musyawarah (Mo Libu), dalam musyawarah itu para tokoh merundingkan cara untuk membunuh Lindu yang jahat itu.
Dikisahkan bahwa jalannya musyawarah berlangsung alot, silang pandapat terjadi antara para tokoh yang menghendaki agar setiap pemukiman mengirimkan sepuluh orang terkuatnya untuk membunuh lindu itu dengan para Tokoh yang mengusulkan untuk meminta bantuan ke keluarga mereka di Kerajaan Sigi, dengan pertimbangan hamparan rawa sangat luas bagi mereka, sehingga akan sulit untuk mengetahui dimana tepatnya lindu berada. Apalagi Lindu selalu berpindah dari satu tempat ketempat dalam mencari mangsanya, sehingga usul untuk meminta bantuan kesigilah yang diterima. Para pemuka bahwa percaya bantuan dari Kerajaan Sigi akan cepat menyelesaikan masalah.
Kerajaan Sigi pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja perempuan yang bernama Bunga Manila , seorang raja yang terkeanl arif dan bijaksana, konon kabarnya ratu Bunga manila merupakan penjelmaan daun tovavako. Para pemuka di Lindu mengira saat itu Bunga Manila memiliki anjing pemburu yang terkenal berani, tangkas, kuat dan ganas yang bernama Liliwana atau penjelajah rimba. Menyusul keputusan itu, diberangkatkanlah beberapa orang menyampaikan ke kerajaan Sigi.
Di kerajaan Sigi, Ratu Bunga Manila, merasa sedih dan terharu begitu mengetahui kemalangan yang menimpa suadara-saudaranya di Lindu. Terlebih lagi ketika ia mengetahui maksud kedatangan keluarganya dari Lindu untuk memintai bantuannya mengirimkan Liliwana untuk menumpas sang Lindu, sementara ia tidak pernah memiliki anjing pemburu seperti dimaksudkan masyarakat Lindu itu.
Akan tetapi untung sekali, beberapa orang disekitar istana Bunga Manila yang turut mendengarkan percakapan itu mengaku pernah mendengar dan mengetahui perihal anjing perkasa yang bernama Liliwana itu. Disampaikannya Liliwana adalah anjing milik seorang raja di dari kerajaan Luwu di Sulawesi bagian Selatan. Mendengarkan hal ini Ratu Bunga Manila segera mengirimkan utusan ke kerajaan Luwu hal ini dilakukannya demi membantu saudara-saudaranya di Lindu.
Pada saat itu antara kerajaan sigi dengan kerajaan Luwu berikut kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi selatan telah terjalin hubungan yang baik. Hubungan itu antara lain terjalin melalui kerjasama di bidang perdagangan. Sebelum memberangkatkan utusannya Raja Sigi terlebih dahulu menyampaikan bahwa di selatan terdapat enam buah kerajaan, yang di ilustrasikan dengan ; Payung ri Wulu, Somba ri Gua, Mangkau ri Bone, Datu ri Sopeng, Ade ri Sidrap dan Aung ri Wajo.
Penyampaian ini dilakukan Raja Sigi agar supaya para utusan nantinya dapat menyampaikan pesan dengan baik-baik, santun dan berhati-hati, karena mereka akan berhadapan dengan raja-raja yang arif. Setelah memperoleh wejangan, berangkatlah utusan Raja Sigi yang terdiri dari tujuh orang. Dalam perjalanannya ke tujuh utusan pertama-tama menuju ke kerajaan Luwu. Di kerajaan ini para Utusan diterima dengan baik sekali, oleh Payung ri Wulu, mereka dijamu dengan baik mengingat hubungan yang baik antara kerajaan Sigi dan Luwu. Setelah melewati perjamuan di lingkungan istana, Payung ri Luwu memanggil utusan dari Raja Sigi itu untuk membicarakan maksud kedatangan mereka, ia menayakan berita apa yang hendak disampaikan oleh Raja Sigi kepadanya. Salah seorang utusan kemudian menceritakan apa yang terjadi dengan saudara mereka di Lindu sekaligus menyatakan maksud raja Sigi untuk meminjam Liliwana, anjaing pemburu yang kabarnya merupakan peliharaan Raja Luwu.
Raja Luwu membenarkan berita itu, ia juga bersedia meminjamkan Liliwana kepada Raja Sigi, demi persahabatan yang sudah terjalin, sembari berpesan agar anjing pemburu itu diperlakukan sebaik-baiknya, seperti halnya memperlakukan anak sendiri.
Singkat cerita, utusan Raja Sigi segera pulang. Karena keadaan yang sangat mendesak lama waktu perjalanan dari Luwu ke Sigi yang biasa ditempuh selama tujuh hari dapat di lalui dalam satu hari. Setibanya di Sigi, Liliwana diistirahatkan dua hari, setelah itu barulah si anjing pemburu yang perkasa meneruskan perjalanan ke dataran Lindu. Tiba di Lindu, anjing pemburu yang gagah berani ini tidak menyia-nyiakan waktu, dengan indera penciumannya yang tajam, ia segera melacak keberadaan si Lindu. Dalam waktu yang singkat Liliwana segera menemukan buruannya, sejenak kemudian terjadilah pertarungan yang seru antara Liliwana dan Lindu. Dalam perkelahian yang sengit itu kedua hewan saling menyerang, menggigit dan bergumul. Suatu waktu Liliwana terlilit dan berada di bawah, tetapi disaat yang lain, Lindu yang berada di bawah. Demikianlah terjadi berulang kali dalam waktu yang lama.
Pertarungan antara Lindu dan Liliwana disaksikan oleh masyarakat yang dari tujuh pemukiman yang berada di perbukitan dan pegunungan disekeliling rawa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan perasaan was-was dan khawatir, tidak sedikit yang meneteskan air mata karena tegangnya, mereka sangat khawatir kalau-kalau Liliwana tidak dapat mengalahkan si Lindu, karena dapat dibayangkan bagaimana akibatnya bila ternyata sang Lindu keluar sebagai pemenang.
Namun untunglah, pada suatu kesempatan Liliwana berhasil menggigit kepala Lindu itu dengan kuatnya, taring-taringnya yang tajam menghunjam kedalam daging hingga tengkorak Lindu, dan mencengkeramnya dengan kuat. Si Lindu menggelatarkan badannya yang besar, meronta-ronta, sambil memukul-mukulkan badannya mengipasi tumbuhan dan pepohonan yang ada dipermukaan rawa yang berlumpur, namun cengkeraman Liliwana terlalu kuat, sehingga ia tak kuasa meloloskan diri, sehingga lama kelamaan Lindu menjadi lemah dan akhirnya menemui ajalnya. Liliwana keluar sebagai pemenang.
Kemenangan Liliwana disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh penduduk lindu mereka bersorak dan bersyukur, sambil mengucapkan terima kasih didalam hati kepada Liliwana, anjing pemburu yang perkasa.
Sejak itu, masyarakat Lindu menguak lembaran baru dalam hidupnya, mereka mulai membuka pemukiman baru di sekitar rawa, diatas tanah-tanah yang landai, diseputar rawa, tanpa ada rasa takut terhadap serangan Lindu. Ditempat ini mereka dapat mencetak sawah dan membuka perkebunan yang luas. Apalagi tanah disekitar rawa merupakan tanah yang subur, karena di bentuk melalui pelapisan humus yang dibawa aliran sungai yang berhulu di gunung-gunung disekelilingnya.
Sementara itu, akibat pertarungan yang maha dahsyat antara Lindu dan Liliwana, permukaan rawa yang luas menjadi terkuak, membentuk sebidang danau yang besar. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya menamakannya sebagai Rano Lindu atau Danau Lindu.
Meskipun mengandung beberapa perbedaan, namun pada intinya kedua versi cerita rakyat diatas meyakini bahwa pembentukan danau Lindu, diawali dengan terjadinya pertarungan antara seekor Lindu dengan se ekor anjing pemburu.
Jika dikaitkan secara ilmiah menurut Whitten (1987) yang menghubungkan dengan analisa binatang moluska, menyatakan bahwa Danau Lindu terbentuk pada masa kira-kira antara 5 sampai 1.6 juta tahun yang lalu. Cerita versi kedua lebih mendekati nyata.
Kedua riwayat juga mengkaitkan riwayat pembentukan danau Lindu dengan kerajaan sigi dan bangsawan-bangsawan dari sulawesi selatan, yaitu Sawerigading dari Bone dan Payung Ri Luwu dari kerajaan Luwu, melalui intermediasi raja perempuan Sigi. Keterkaitan itu dijalinkan melalui kepemilikan mereka terhadap anjing pemburu yang perkasa (Liliwana versi Tampilangi atau La Bolong versi Matulada).
Sawerigading adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat tanah kaili. Tokoh ini dihubungkan dengan kedudukan kerajaan Bone, sebagai kerajaan bugis di Sulawesi selatan yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di tanah kaili. Dapat diperkirakan bahwa hubungan-hubungan yang akrab antara kerjaan Bone dengan kerajaan-kerajaan di Tana kaili berlangsung pada abad ke-17. adapun tokoh sawerigading di sulawesi selatan tersebut terdapat dalam epos la-galigo, dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja bugis, khusunya dikerajaan Luwu yang terletak di sebelah utara kerajaan Bone. (Matulada, 1976, et al.,)
Menurut Matulada (et al.,) ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai alat identifikasi etnologis, untuk suatu kelompok manusia dalam suatu komunitas tertentu untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lainnya. Biasanya digunakan beberapa kedaan khusus dari kelompok itu sebagai alat identifikasi yang dimaksud seperti ; dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, keadaan alam tertentu dan sebagainya, keadaan itulah yang kemudian menjadi identitas atau sebutannya.
Matulada (et al.,) juga mencontohkan bentuk pengelompokan yang dimaksud, misalnya berdasarkan bahasa, terdapat sebutan orang bugis atau orang jawa, kepada suatu kaum dikarenakan mereka berbahasa bugis maupun bahasa jawa; demikian halnya, berdasarkan dialeknya, sebagaimana Adriani dan Kruijt dalam Matulada (et al.,) mengelompokan dialek-dialek dalam kalangan yang disebutnya Toraja, dengan menggunakan kata sangkal seperti ; tae, rai, ledo, da dan lain-lain. Selajutnya, berdasarkan ciri kebudayaan yang melekat pada suatu kaum Matulada, mencontohkan penamaan yang terjadi pada to panambe , yaitu masyarakat yang bermata pencaharian hidup dengan menggunakan alat penangkap ikan yang disebut panambe, sedangkan untuk suatu kelompok atau kaum yang diidentifikasikan menurut nama tempatnya, dicontohkan To Palu, To (ri) palu, ialah orang atau kaum yang bermukim di palu.
Menggunakan pendekatan serupa itu, nampaknya identifikasi atau sebutan bagi Toi Lindu didasarkan pada nama tempat mereka bermukim saat ini, yaitu dataran di sekitar danau Lindu, sehingga masyarakat yang bermukim disekelilingnya di kenal sebagai To Lindu atau orang yang bermukim di dataran Lindu.
To Lindu, merupakan sub kultur atau sub etnik Kaili. Matulada, 1976 mengelompokan beberapa kelompok etnis yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari etnis Kaili, yang dalam pernyataan-pernyataan kulturalnya saat itu dapat disebut sesuai dengan nama tempat pemukimannya. Sebagai berikut ; 1) To palu, 2) To Biromaru, 3) To Dolo, 4) To Sigi, 5) To Pakuli, To Bangga, To Baluase, To Sibalaya, To Sidondo, 6) To Lindu, 7) To Banggakoro, 8. To Tamungkulowi dan To Baku, 9) To Kulawi, 10) To Tawaeli, 11) To Susu, To Balinggi, To Dolago, 12) To Petimpe 13) To Raranggonau, 14) To Parigi.
Matulada mengakui bahwa dalam kalangan sub etnik tersebut acapkali terjadi penggolongan yang lebih kecil lagi, dengan ciri-ciri khusus, yang kelihatannya lebih dekat kepada kelompok kekerabatan, yang menunjukan sifat satuan geneologisnya. Kekhususan yang dimaksud dapat pula meliputi ceritera asal usul maupun dialek, yang merupakan pernyataan kulturalnya.
danau-linduHal demikian dapat dijumpai pada To Lindu. untuk menegaskan identitasnya, To Lindu memiliki sejumlah cerita rakyat (Folk Tale), mitos, tokoh-tokoh legendaris yang menjadi suatu pengikat solidaritas bagi anggota masyarakat yang terhisap kedalam sub etnis Lindu.
Bahasa To Lindu digunakan To Lindu berdialek Tado. Dialek ini merupakan salah satu jenis dialek yang tergolong delam rumpun bahasa kaili sebagaimana Unde, Ledo, Tara, Da dan lain-lain. Penggunaan dialeg ini juga membedakan To Lindu dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya dalam rumpun kaili, termasuk To Kulawi yang berbahasa Uma maupun Moma maupun Ompa. Dibandingkan dengan Pemakaian dialek lain dalam rumpun bahasa kaili, pemakaian dialek Tado kemungkinan merupakan populasi terkecil. Selain To Lindu, komunitas asli Sinduru di Desa Tuva, juga mengklaim diri sebagai pengguna dialek ini, meskipun dengan sedikit varian. Mereka menyebut dialek mereka sebagai dialek Tado Mbei , dalam cerita mengenai asal-usulnya, masyarakat Sinduru di Tuva, mengakui bahwa leluhur mereka dulunya berasal dari dataran Lindu, yang bermigrasi ke daerah barat dan membuka pemukiman pertamanya di Oda vatu, suatu tempat yang terletak di sebelah timur desa Tuva kecamatan Gumbasa saat ini.
To lindu juga memiliki sejumlah cerita rakyat maupun mitos mengenai asal-usul mereka, maupun legeda-legenda mengenai ketokohan leluhur mereka, yang selain menimbulkan kebanggan pada diri mereka sebagai bagian dari To Lindu, juga menjadi pengikat solidaritas. Oleh Paul Cohen (2001, et al.,) menekankan bahwa mitos Mitos ini bukan berarti sesuatu yang salah atau tidak nyata. Sejarah sebagai mitos dimaksudkan sebagai sejarah yang dipakai untuk justifikasi tindakan masa kini.
Dipantai barat perahu Sawerigading berlabuh dipantai kerajaan Bangga, yang dipimpin oleh raja Wambulangi seorang perempuan yang bergelar Magau Bangga.dengan magau Bangga Sawerigading mengikat perjanjian persahabatan.
Setelah kunjungan ke bangga Saweri Gading kembali ke Sigi. Dalam perjalanan itu Sawerigading singgah di sebuah pulau kecil Bugintanga (pulau tengah), untuk menambatkan perahunya ia menancapkan sebatang tonggak panjang (Tokong bgs-) ketika meninggalkan pulau itu Sawerigading tidak mencabut Tonggak itu, sehingga bertumbuhlah dan sampai kini dipercaya oleh penduduk sebagai kebangga atau bululanga yang terletak di kampung kaleke.
Di Sigi persiapan pertarungan sudah diselesaikan, sebuah gelanggang (wala-wala) sudah di sediakan bagi baka cipolong dan calabai, para penduduk juga sudah mendengarkan dan bersiap untuk menyaksikan pertarungan yang akan digelar kesekan paginya, namun diluardugaan, satu malam sebelum upacara dimulai, tersiar kabar, yang mengharuskan pertarungan itu dibatalkan.
Anjing Sawerigading yang digelar La Bolong (si Hitam -bgs-) diam-diam turun dari perahu, untuk berjalan-jalan di dataran Sigi. Tanpa di sadarinya ia berjalan terlalu jauh ke selatan hingga kemudian terperangkap kedalam sebuah lubang yang besar tempat kediaman se ekor Lindu (belut) yang sangat besar. Karena merasa terganggu dengan kedatangan anjing La Bolong yang tiba-tiba itu maka si Lindu menjadi marah dan menyerang La Bolong sehingga terjadilah pertarungan yang amat sengit antara keduanya. Sedemikian dahsyatnya pertarungan itu sehingga seolah-olah menimbulkan gempa yang menggetarkan bumi, penduduk pun menjadi panik dan ketakutan dibuatnya. Pada satu kesempatan La Bolong berhasil menyergap Lindu itu dengan taring-taringnya, kemudian dengan cengkeraman mulutnya ia menyentakan dan menarik sang Lindu hingga tercabut dari lubangnya. Sejenak kemudian La Bolong menyeret dan melarikan belut yang meronta-ronta itu ke arah utara.
Sementara itu, lubang tempat tinggal Lindu yang telah menjadi kosong dengan cepat terisi air, Sehingga lama kelamaan menjadi penuh dan meluap-luap, menggenangi daerah sekitarnya sampai akhirnya membentuk sebuah danau yang saat ini dikenal sebagai danau Lindu.
Demikian riwayat danau Lindu yang dikutip dari legenda Sawerigading, sebagaimana penuturan Matulada dalam bukunya sejarah dan kebudayaan To Kaili. Dibandingkan dengan penuturan Paulus Tampilangi, salah seorang tokoh Lindu pada tahun 2001, mitos pembentukan danau Lindu sedikit berbeda, meskipun alur ceritanya memiliki beberapa kemiripan sbb,
Di kisahkan, pada jaman dahulu kala dataran disekitar Lindu belum menjadi tempat tinggal manusia karena pada umumnya masyarakat pada saat itu memilih untuk tinggal di lereng-lereng gunung, maupun punggung-punggung bukit dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar-pencar, di Lantawongu, Katapia, Watureo, Sindimalei Lindu Tongoa dan Sandipo.
Beberapa jarak dibawah kaki gunung mapun bukit-bukit itu terdapat dataran, yang digenangi air sehingga membentuklah suatu rawa yang sangat luas. Di rawa itu hidup seekor Lindu atau belut yang sangat besar ukurannya. Selain besar Lindu, dikisahkan bahwa Lindu itu sangat buas. Ia menyerang dan memangsa hewan apa saja bahkan manusia yang dijumpainya disekitar rawa. Itulah sebab tidak seorangpun yang masyarakat pada saat itu yang berani datang apalagi bermukim tepian rawa.
Lindu itu hidup bak raja di daerah rawa yang maha luas itu, tidak henti-hentinya ia memangsai hewan-hewan hutan yang datang untuk minum dipinggiran rawa, tidak jarang manusia yang tersesat kedaerah rawapun dijadikannya santapannya, sehingga lama kelamaan jumlah anggota masyarakat yang menjadi mangsa Lindu menjadi banyak dan terus menerus bertambah banyak, sehingga mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat Lindu.
Keresahan yang menumpuk mulai menimbulkan ketakutan yang menghantui seluruh masyarakat pada saat itu. Keadaan ini mendorong totua maradika, ngata dan todea berkumpulah di suatu tempat untuk menyelenggarakan musyawarah (Mo Libu), dalam musyawarah itu para tokoh merundingkan cara untuk membunuh Lindu yang jahat itu.
Dikisahkan bahwa jalannya musyawarah berlangsung alot, silang pandapat terjadi antara para tokoh yang menghendaki agar setiap pemukiman mengirimkan sepuluh orang terkuatnya untuk membunuh lindu itu dengan para Tokoh yang mengusulkan untuk meminta bantuan ke keluarga mereka di Kerajaan Sigi, dengan pertimbangan hamparan rawa sangat luas bagi mereka, sehingga akan sulit untuk mengetahui dimana tepatnya lindu berada. Apalagi Lindu selalu berpindah dari satu tempat ketempat dalam mencari mangsanya, sehingga usul untuk meminta bantuan kesigilah yang diterima. Para pemuka bahwa percaya bantuan dari Kerajaan Sigi akan cepat menyelesaikan masalah.
Kerajaan Sigi pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja perempuan yang bernama Bunga Manila , seorang raja yang terkeanl arif dan bijaksana, konon kabarnya ratu Bunga manila merupakan penjelmaan daun tovavako. Para pemuka di Lindu mengira saat itu Bunga Manila memiliki anjing pemburu yang terkenal berani, tangkas, kuat dan ganas yang bernama Liliwana atau penjelajah rimba. Menyusul keputusan itu, diberangkatkanlah beberapa orang menyampaikan ke kerajaan Sigi.
Di kerajaan Sigi, Ratu Bunga Manila, merasa sedih dan terharu begitu mengetahui kemalangan yang menimpa suadara-saudaranya di Lindu. Terlebih lagi ketika ia mengetahui maksud kedatangan keluarganya dari Lindu untuk memintai bantuannya mengirimkan Liliwana untuk menumpas sang Lindu, sementara ia tidak pernah memiliki anjing pemburu seperti dimaksudkan masyarakat Lindu itu.
Akan tetapi untung sekali, beberapa orang disekitar istana Bunga Manila yang turut mendengarkan percakapan itu mengaku pernah mendengar dan mengetahui perihal anjing perkasa yang bernama Liliwana itu. Disampaikannya Liliwana adalah anjing milik seorang raja di dari kerajaan Luwu di Sulawesi bagian Selatan. Mendengarkan hal ini Ratu Bunga Manila segera mengirimkan utusan ke kerajaan Luwu hal ini dilakukannya demi membantu saudara-saudaranya di Lindu.
Pada saat itu antara kerajaan sigi dengan kerajaan Luwu berikut kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi selatan telah terjalin hubungan yang baik. Hubungan itu antara lain terjalin melalui kerjasama di bidang perdagangan. Sebelum memberangkatkan utusannya Raja Sigi terlebih dahulu menyampaikan bahwa di selatan terdapat enam buah kerajaan, yang di ilustrasikan dengan ; Payung ri Wulu, Somba ri Gua, Mangkau ri Bone, Datu ri Sopeng, Ade ri Sidrap dan Aung ri Wajo.
Penyampaian ini dilakukan Raja Sigi agar supaya para utusan nantinya dapat menyampaikan pesan dengan baik-baik, santun dan berhati-hati, karena mereka akan berhadapan dengan raja-raja yang arif. Setelah memperoleh wejangan, berangkatlah utusan Raja Sigi yang terdiri dari tujuh orang. Dalam perjalanannya ke tujuh utusan pertama-tama menuju ke kerajaan Luwu. Di kerajaan ini para Utusan diterima dengan baik sekali, oleh Payung ri Wulu, mereka dijamu dengan baik mengingat hubungan yang baik antara kerajaan Sigi dan Luwu. Setelah melewati perjamuan di lingkungan istana, Payung ri Luwu memanggil utusan dari Raja Sigi itu untuk membicarakan maksud kedatangan mereka, ia menayakan berita apa yang hendak disampaikan oleh Raja Sigi kepadanya. Salah seorang utusan kemudian menceritakan apa yang terjadi dengan saudara mereka di Lindu sekaligus menyatakan maksud raja Sigi untuk meminjam Liliwana, anjaing pemburu yang kabarnya merupakan peliharaan Raja Luwu.
Raja Luwu membenarkan berita itu, ia juga bersedia meminjamkan Liliwana kepada Raja Sigi, demi persahabatan yang sudah terjalin, sembari berpesan agar anjing pemburu itu diperlakukan sebaik-baiknya, seperti halnya memperlakukan anak sendiri.
Singkat cerita, utusan Raja Sigi segera pulang. Karena keadaan yang sangat mendesak lama waktu perjalanan dari Luwu ke Sigi yang biasa ditempuh selama tujuh hari dapat di lalui dalam satu hari. Setibanya di Sigi, Liliwana diistirahatkan dua hari, setelah itu barulah si anjing pemburu yang perkasa meneruskan perjalanan ke dataran Lindu. Tiba di Lindu, anjing pemburu yang gagah berani ini tidak menyia-nyiakan waktu, dengan indera penciumannya yang tajam, ia segera melacak keberadaan si Lindu. Dalam waktu yang singkat Liliwana segera menemukan buruannya, sejenak kemudian terjadilah pertarungan yang seru antara Liliwana dan Lindu. Dalam perkelahian yang sengit itu kedua hewan saling menyerang, menggigit dan bergumul. Suatu waktu Liliwana terlilit dan berada di bawah, tetapi disaat yang lain, Lindu yang berada di bawah. Demikianlah terjadi berulang kali dalam waktu yang lama.
Pertarungan antara Lindu dan Liliwana disaksikan oleh masyarakat yang dari tujuh pemukiman yang berada di perbukitan dan pegunungan disekeliling rawa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan perasaan was-was dan khawatir, tidak sedikit yang meneteskan air mata karena tegangnya, mereka sangat khawatir kalau-kalau Liliwana tidak dapat mengalahkan si Lindu, karena dapat dibayangkan bagaimana akibatnya bila ternyata sang Lindu keluar sebagai pemenang.
Namun untunglah, pada suatu kesempatan Liliwana berhasil menggigit kepala Lindu itu dengan kuatnya, taring-taringnya yang tajam menghunjam kedalam daging hingga tengkorak Lindu, dan mencengkeramnya dengan kuat. Si Lindu menggelatarkan badannya yang besar, meronta-ronta, sambil memukul-mukulkan badannya mengipasi tumbuhan dan pepohonan yang ada dipermukaan rawa yang berlumpur, namun cengkeraman Liliwana terlalu kuat, sehingga ia tak kuasa meloloskan diri, sehingga lama kelamaan Lindu menjadi lemah dan akhirnya menemui ajalnya. Liliwana keluar sebagai pemenang.
Kemenangan Liliwana disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh penduduk lindu mereka bersorak dan bersyukur, sambil mengucapkan terima kasih didalam hati kepada Liliwana, anjing pemburu yang perkasa.
Sejak itu, masyarakat Lindu menguak lembaran baru dalam hidupnya, mereka mulai membuka pemukiman baru di sekitar rawa, diatas tanah-tanah yang landai, diseputar rawa, tanpa ada rasa takut terhadap serangan Lindu. Ditempat ini mereka dapat mencetak sawah dan membuka perkebunan yang luas. Apalagi tanah disekitar rawa merupakan tanah yang subur, karena di bentuk melalui pelapisan humus yang dibawa aliran sungai yang berhulu di gunung-gunung disekelilingnya.
Sementara itu, akibat pertarungan yang maha dahsyat antara Lindu dan Liliwana, permukaan rawa yang luas menjadi terkuak, membentuk sebidang danau yang besar. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya menamakannya sebagai Rano Lindu atau Danau Lindu.
Meskipun mengandung beberapa perbedaan, namun pada intinya kedua versi cerita rakyat diatas meyakini bahwa pembentukan danau Lindu, diawali dengan terjadinya pertarungan antara seekor Lindu dengan se ekor anjing pemburu.
Jika dikaitkan secara ilmiah menurut Whitten (1987) yang menghubungkan dengan analisa binatang moluska, menyatakan bahwa Danau Lindu terbentuk pada masa kira-kira antara 5 sampai 1.6 juta tahun yang lalu. Cerita versi kedua lebih mendekati nyata.
Kedua riwayat juga mengkaitkan riwayat pembentukan danau Lindu dengan kerajaan sigi dan bangsawan-bangsawan dari sulawesi selatan, yaitu Sawerigading dari Bone dan Payung Ri Luwu dari kerajaan Luwu, melalui intermediasi raja perempuan Sigi. Keterkaitan itu dijalinkan melalui kepemilikan mereka terhadap anjing pemburu yang perkasa (Liliwana versi Tampilangi atau La Bolong versi Matulada).
Sawerigading adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat tanah kaili. Tokoh ini dihubungkan dengan kedudukan kerajaan Bone, sebagai kerajaan bugis di Sulawesi selatan yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di tanah kaili. Dapat diperkirakan bahwa hubungan-hubungan yang akrab antara kerjaan Bone dengan kerajaan-kerajaan di Tana kaili berlangsung pada abad ke-17. adapun tokoh sawerigading di sulawesi selatan tersebut terdapat dalam epos la-galigo, dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja bugis, khusunya dikerajaan Luwu yang terletak di sebelah utara kerajaan Bone. (Matulada, 1976, et al.,)
Menurut Matulada (et al.,) ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai alat identifikasi etnologis, untuk suatu kelompok manusia dalam suatu komunitas tertentu untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lainnya. Biasanya digunakan beberapa kedaan khusus dari kelompok itu sebagai alat identifikasi yang dimaksud seperti ; dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, keadaan alam tertentu dan sebagainya, keadaan itulah yang kemudian menjadi identitas atau sebutannya.
Matulada (et al.,) juga mencontohkan bentuk pengelompokan yang dimaksud, misalnya berdasarkan bahasa, terdapat sebutan orang bugis atau orang jawa, kepada suatu kaum dikarenakan mereka berbahasa bugis maupun bahasa jawa; demikian halnya, berdasarkan dialeknya, sebagaimana Adriani dan Kruijt dalam Matulada (et al.,) mengelompokan dialek-dialek dalam kalangan yang disebutnya Toraja, dengan menggunakan kata sangkal seperti ; tae, rai, ledo, da dan lain-lain. Selajutnya, berdasarkan ciri kebudayaan yang melekat pada suatu kaum Matulada, mencontohkan penamaan yang terjadi pada to panambe , yaitu masyarakat yang bermata pencaharian hidup dengan menggunakan alat penangkap ikan yang disebut panambe, sedangkan untuk suatu kelompok atau kaum yang diidentifikasikan menurut nama tempatnya, dicontohkan To Palu, To (ri) palu, ialah orang atau kaum yang bermukim di palu.
Menggunakan pendekatan serupa itu, nampaknya identifikasi atau sebutan bagi Toi Lindu didasarkan pada nama tempat mereka bermukim saat ini, yaitu dataran di sekitar danau Lindu, sehingga masyarakat yang bermukim disekelilingnya di kenal sebagai To Lindu atau orang yang bermukim di dataran Lindu.
To Lindu, merupakan sub kultur atau sub etnik Kaili. Matulada, 1976 mengelompokan beberapa kelompok etnis yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari etnis Kaili, yang dalam pernyataan-pernyataan kulturalnya saat itu dapat disebut sesuai dengan nama tempat pemukimannya. Sebagai berikut ; 1) To palu, 2) To Biromaru, 3) To Dolo, 4) To Sigi, 5) To Pakuli, To Bangga, To Baluase, To Sibalaya, To Sidondo, 6) To Lindu, 7) To Banggakoro, 8. To Tamungkulowi dan To Baku, 9) To Kulawi, 10) To Tawaeli, 11) To Susu, To Balinggi, To Dolago, 12) To Petimpe 13) To Raranggonau, 14) To Parigi.
Matulada mengakui bahwa dalam kalangan sub etnik tersebut acapkali terjadi penggolongan yang lebih kecil lagi, dengan ciri-ciri khusus, yang kelihatannya lebih dekat kepada kelompok kekerabatan, yang menunjukan sifat satuan geneologisnya. Kekhususan yang dimaksud dapat pula meliputi ceritera asal usul maupun dialek, yang merupakan pernyataan kulturalnya.
danau-linduHal demikian dapat dijumpai pada To Lindu. untuk menegaskan identitasnya, To Lindu memiliki sejumlah cerita rakyat (Folk Tale), mitos, tokoh-tokoh legendaris yang menjadi suatu pengikat solidaritas bagi anggota masyarakat yang terhisap kedalam sub etnis Lindu.
Bahasa To Lindu digunakan To Lindu berdialek Tado. Dialek ini merupakan salah satu jenis dialek yang tergolong delam rumpun bahasa kaili sebagaimana Unde, Ledo, Tara, Da dan lain-lain. Penggunaan dialeg ini juga membedakan To Lindu dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya dalam rumpun kaili, termasuk To Kulawi yang berbahasa Uma maupun Moma maupun Ompa. Dibandingkan dengan Pemakaian dialek lain dalam rumpun bahasa kaili, pemakaian dialek Tado kemungkinan merupakan populasi terkecil. Selain To Lindu, komunitas asli Sinduru di Desa Tuva, juga mengklaim diri sebagai pengguna dialek ini, meskipun dengan sedikit varian. Mereka menyebut dialek mereka sebagai dialek Tado Mbei , dalam cerita mengenai asal-usulnya, masyarakat Sinduru di Tuva, mengakui bahwa leluhur mereka dulunya berasal dari dataran Lindu, yang bermigrasi ke daerah barat dan membuka pemukiman pertamanya di Oda vatu, suatu tempat yang terletak di sebelah timur desa Tuva kecamatan Gumbasa saat ini.
To lindu juga memiliki sejumlah cerita rakyat maupun mitos mengenai asal-usul mereka, maupun legeda-legenda mengenai ketokohan leluhur mereka, yang selain menimbulkan kebanggan pada diri mereka sebagai bagian dari To Lindu, juga menjadi pengikat solidaritas. Oleh Paul Cohen (2001, et al.,) menekankan bahwa mitos Mitos ini bukan berarti sesuatu yang salah atau tidak nyata. Sejarah sebagai mitos dimaksudkan sebagai sejarah yang dipakai untuk justifikasi tindakan masa kini.
Sejarah kota Palu
Sejarah Peristiwa Kota Palu
Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya mereka sampai di Boya Pogego sekarang ini.
Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan terhadap Kerajaan Palu. Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Berikut daftar susunan raja-raja Palu :
1. Pue Nggari (Siralangi) 1796 - 1805
2. I Dato Labungulili 1805 - 1815
3. Malasigi Bulupalo 1815 - 1826
4. Daelangi 1826 - 1835
5. Yololembah 1835 - 1850
6. Lamakaraka 1850 - 1868
7. Maili (Mangge Risa) 1868 - 1888
8. Jodjokodi 1888 - 1906
9. Parampasi 1906 - 1921
10. Djanggola 1921 - 1949
11. Tjatjo Idjazah 1949 - 1960
Tjatjo Idjazah
Raja Palu Terakhir (1949 - 1960)
Setelah Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja-raja di wilayah Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan oleh pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct” (perjanjian panjang) yang akhirnya dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian pendek). Hingga akhirnya Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif berdasarkan Nomor 21 Tanggal 25 Februari 1940. Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi Arder Afdeling, antara lain Order Palu dengan ibu kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yaitu :
1. Swapraja Palu
2. Swapraja Dolo
3. Swapraja Kulawi
Pertumbuhan Kota Palu setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda kemudian Jepang pada tahun 1945 semakin lama semakin meningkat. Dimana hasrat masyarakat untuk lebih maju dari masa penjajahan dengan tekat membangun masing-masing daerahnya. Berkat usaha makin tersusun roda pemerintahannya dari pusat sampai ke daerah-daerah. Maka terbentuklah daerah Swatantra tingkat II Donggala sesuai peraturan pemerintah Nomor 23 Tahun 1952 yang selanjutnya melahirkan Kota Administratif Palu yang berbentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978.
Berangsur-angsur susunan ketatanegaraan RI diperbaiki oleh pemerintah pusat disesuaikannya dengan keinginan rakyat di daerah-daerah melalui pemecehan dan penggabungan untuk pengembangan daerah, kemudian dihapuslah pemerintahan Swapraja dengan keluarnya peraturan yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 Tentang Terbentuknya Dati I Propinsi Sulteng dengan Ibukota Palu.
Dasar hukum pembentukan wilayah Kota Administratif Palu yang dibentuk tanggal 27 September 1978 atas Dasar Asas Dekontrasi sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota Palu sebagai Ibukota Propinsi Dati I Sulawesi Tengah sekaligus ibukota Kabupaten Dati II Donggala dan juga sebagai ibukota pemerintahan wilayah Kota Administratif Palu. Palu merupakan kota kesepuluh yang ditetapkan pemerintah menjadi kota administratif.
Sebagai latar belakang pertumbuhan Kota Palu dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari hasrat keinginan rakyat di daerah ini dalam pencetusan pembentukan Pemerintahan wilayah kota untuk Kota Palu dimulai sejak adanya Keputusan DPRD Tingkat I Sulteng di Poso Tahun 1964. Atas dasar keputusan tersebut maka diambil langkah-langkah positif oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Pemerintah Dati II Donggala guna mempersiapkan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kemungkinan Kota Palu sebagai Kota Administratif. Usaha ini diperkuat dengan SK Gubernur KDH Tingkat I Sulteng Nomor 225/Ditpem/1974 dengan membentuk Panitia Peneliti kemungkinan Kota Palu dijadikan Kota Administratif, maka pemerintah pusat telah berkenan menyetujui Kota Palu dijadikan Kota Administratif dengan dua kecamatan yaitu Palu Barat dan Palu Timur.
Berdasarkan landasan hukum tersebut maka pemerintah Kotif Palu memulai kegiatan menyelenggarakan pemerintahan di wilayah berdasarkan fungsi sebagai berikut :
a. Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintah dengan perkembangan kehidupan politik dan budaya perkotaan.
b. Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan fisik perkotaan.
c. Mendukung dan merangsang secara timbal balik pembangunan wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada umumnya dan Kabupaten Dati II Donggala.
Hal ini berarti pemerintah wilayah Kotif Palu menyelenggarakan fungsi-fungsi yang meliputi bidang-bidang :
1. Pemerintah
2. Pembina kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan
3. Pengarahan pembangunan ekonomi, sosial dan fisik perkotaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tanggal 12 Oktober 1994, Mendagri Yogi S. Memet meresmikannya Kotamadya Palu dan melantik Rully Lamadjido, SH sebagai walikotanya. Kota Palu terletak memanjang dari timur ke barat disebelah utara garis katulistiwa dalam koordinat 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Luas wilayahnya 395,06 km2 dan terletak di Teluk Palu dengan dikelilingi pegnungan. Kota Palu terletak pada ketinggian 0 – 2500 m dari permukaan laut dengan keadaan topografis datar hingga pegunungan. Sedangkan dataran rendah umumnya tersebut disekitar pantai.
Berikut batas-batas wilayah Kota Palu adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kecamatan Banawa
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marawola dan Kabupaten Sigi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Banawa dan Kecamatan Marawola
- Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kabupaten Parimo
Dengan pembagian wilayah menjadi empat, yaitu :
1. Kecamatan Palu Barat mencakup 15 Kelurahan
• Duyu
• Ujuna
• Nunu
• Boyaoge
• Balaroa
• Donggala Kodi
• Kamonji
• Baru
• Lere
• Kabonena
• Tipo
• Buluri
• Silae
• Watusampu
• Siranindi
2. Kecamatan Palu Selatan mencakup 12 Kelurahan
• Tatura
• Birobuli
• Petobo
• Kawatuna
• Tanamodindi
• Lolu Utara
• Tawanjuka
• Palupi
• Pengawu
• Lolu Selatan
• Sambale Juraga
• Tamalanja
3. Kecamatan Palu Timur mencakup 8 Kelurahan
• Lasoani
• Poboya
• Talise
• Besusu Barat
• Tondo
• Besusu Tengah
• Besusu Timur
• Layana Indah
4. Kecamatan Palu Utara mencakup 8 Kelurahan
• Mamboro
• Taipa
• Kayumalue Ngapa
• Kayumalue Pajeko
• Panau
• Lambara
• Baiya
• Pantoloan
Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, akhirnya mereka sampai di Boya Pogego sekarang ini.
Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan terhadap Kerajaan Palu. Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Berikut daftar susunan raja-raja Palu :
1. Pue Nggari (Siralangi) 1796 - 1805
2. I Dato Labungulili 1805 - 1815
3. Malasigi Bulupalo 1815 - 1826
4. Daelangi 1826 - 1835
5. Yololembah 1835 - 1850
6. Lamakaraka 1850 - 1868
7. Maili (Mangge Risa) 1868 - 1888
8. Jodjokodi 1888 - 1906
9. Parampasi 1906 - 1921
10. Djanggola 1921 - 1949
11. Tjatjo Idjazah 1949 - 1960
Tjatjo Idjazah
Raja Palu Terakhir (1949 - 1960)
Setelah Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja-raja di wilayah Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan oleh pemerintah Belanda, dibuatlah satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct” (perjanjian panjang) yang akhirnya dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian pendek). Hingga akhirnya Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif berdasarkan Nomor 21 Tanggal 25 Februari 1940. Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi lebih kecil menjadi Arder Afdeling, antara lain Order Palu dengan ibu kotanya Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yaitu :
1. Swapraja Palu
2. Swapraja Dolo
3. Swapraja Kulawi
Pertumbuhan Kota Palu setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda kemudian Jepang pada tahun 1945 semakin lama semakin meningkat. Dimana hasrat masyarakat untuk lebih maju dari masa penjajahan dengan tekat membangun masing-masing daerahnya. Berkat usaha makin tersusun roda pemerintahannya dari pusat sampai ke daerah-daerah. Maka terbentuklah daerah Swatantra tingkat II Donggala sesuai peraturan pemerintah Nomor 23 Tahun 1952 yang selanjutnya melahirkan Kota Administratif Palu yang berbentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978.
Berangsur-angsur susunan ketatanegaraan RI diperbaiki oleh pemerintah pusat disesuaikannya dengan keinginan rakyat di daerah-daerah melalui pemecehan dan penggabungan untuk pengembangan daerah, kemudian dihapuslah pemerintahan Swapraja dengan keluarnya peraturan yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 Tentang Terbentuknya Dati I Propinsi Sulteng dengan Ibukota Palu.
Dasar hukum pembentukan wilayah Kota Administratif Palu yang dibentuk tanggal 27 September 1978 atas Dasar Asas Dekontrasi sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota Palu sebagai Ibukota Propinsi Dati I Sulawesi Tengah sekaligus ibukota Kabupaten Dati II Donggala dan juga sebagai ibukota pemerintahan wilayah Kota Administratif Palu. Palu merupakan kota kesepuluh yang ditetapkan pemerintah menjadi kota administratif.
Sebagai latar belakang pertumbuhan Kota Palu dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari hasrat keinginan rakyat di daerah ini dalam pencetusan pembentukan Pemerintahan wilayah kota untuk Kota Palu dimulai sejak adanya Keputusan DPRD Tingkat I Sulteng di Poso Tahun 1964. Atas dasar keputusan tersebut maka diambil langkah-langkah positif oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Pemerintah Dati II Donggala guna mempersiapkan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kemungkinan Kota Palu sebagai Kota Administratif. Usaha ini diperkuat dengan SK Gubernur KDH Tingkat I Sulteng Nomor 225/Ditpem/1974 dengan membentuk Panitia Peneliti kemungkinan Kota Palu dijadikan Kota Administratif, maka pemerintah pusat telah berkenan menyetujui Kota Palu dijadikan Kota Administratif dengan dua kecamatan yaitu Palu Barat dan Palu Timur.
Berdasarkan landasan hukum tersebut maka pemerintah Kotif Palu memulai kegiatan menyelenggarakan pemerintahan di wilayah berdasarkan fungsi sebagai berikut :
a. Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintah dengan perkembangan kehidupan politik dan budaya perkotaan.
b. Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan fisik perkotaan.
c. Mendukung dan merangsang secara timbal balik pembangunan wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada umumnya dan Kabupaten Dati II Donggala.
Hal ini berarti pemerintah wilayah Kotif Palu menyelenggarakan fungsi-fungsi yang meliputi bidang-bidang :
1. Pemerintah
2. Pembina kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan
3. Pengarahan pembangunan ekonomi, sosial dan fisik perkotaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tanggal 12 Oktober 1994, Mendagri Yogi S. Memet meresmikannya Kotamadya Palu dan melantik Rully Lamadjido, SH sebagai walikotanya. Kota Palu terletak memanjang dari timur ke barat disebelah utara garis katulistiwa dalam koordinat 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Luas wilayahnya 395,06 km2 dan terletak di Teluk Palu dengan dikelilingi pegnungan. Kota Palu terletak pada ketinggian 0 – 2500 m dari permukaan laut dengan keadaan topografis datar hingga pegunungan. Sedangkan dataran rendah umumnya tersebut disekitar pantai.
Berikut batas-batas wilayah Kota Palu adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kecamatan Banawa
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marawola dan Kabupaten Sigi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Banawa dan Kecamatan Marawola
- Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kabupaten Parimo
Dengan pembagian wilayah menjadi empat, yaitu :
1. Kecamatan Palu Barat mencakup 15 Kelurahan
• Duyu
• Ujuna
• Nunu
• Boyaoge
• Balaroa
• Donggala Kodi
• Kamonji
• Baru
• Lere
• Kabonena
• Tipo
• Buluri
• Silae
• Watusampu
• Siranindi
2. Kecamatan Palu Selatan mencakup 12 Kelurahan
• Tatura
• Birobuli
• Petobo
• Kawatuna
• Tanamodindi
• Lolu Utara
• Tawanjuka
• Palupi
• Pengawu
• Lolu Selatan
• Sambale Juraga
• Tamalanja
3. Kecamatan Palu Timur mencakup 8 Kelurahan
• Lasoani
• Poboya
• Talise
• Besusu Barat
• Tondo
• Besusu Tengah
• Besusu Timur
• Layana Indah
4. Kecamatan Palu Utara mencakup 8 Kelurahan
• Mamboro
• Taipa
• Kayumalue Ngapa
• Kayumalue Pajeko
• Panau
• Lambara
• Baiya
• Pantoloan
Langganan:
Postingan (Atom)